Sabtu, 14 Mei 2011

Siswa SMK yang Tak Lulus Capai 1.422 Siswa

MALANG - Prestasi kelulusan siswa SMK di Kota Malang tahun ini terbilang sangat jeblok. Jumlah siswa yang tidak lulus tahun ini mencapai 1.422 siswa. Padahal tahun lalu, jumlah siswa yang tidak lulus hanya sebanyak 383 siswa. Ada kenaikan sekitar 350 persen lebih jumlah siswa SMK yang tidak lulus tahun ini.
Tahun lalu, sistem penilaian ujian nasional untuk SMK sempat terjadi kekacauan. Banyak nilai yang tidak keluar dalam UN. Awalnya, ada 739 siswa SMK yang tidak lulus di Kota Malang, 356 siswa akhirnya dapat dinyatakan lulus setelah dilakukan klarifikasi ke Departemen Pendidikan Nasional.
Sementara tahun ini, tidak ada kekacaun sistem penilaian tapi angka kelulusannya sangat rendah dan siswa yang tidak lulus meningkat drastis dari sebelumnya. Keberadaan Kota Malang sebagai kota vokasi pun langsung dipertanyakan dan menjadi perdebatan di kalangan masyarakat.
Sementara angka kelulusan SMA tahun ini relatif lebih baik dari tahun sebelumnya. Tahun ini, hanya ada 315 siswa SMA dan MA yang tidak lulus.
Menurut pengamat pendidikan Kota Malang, H.M. Kamilun Muhtadin, M.Si, desain antara siswa SMA dengan SMK sudah berbeda. Siswa SMK di desain untuk memasuki dunia kerja. Dalam satu minggu siswa SMK harus melahap pelajaran selama 52 jam. Di SMA hanya sekitar 38 jam sampai 42 jam.
Siswa SMK sudah diforsir waktunya untuk kegiatan di dalam ruangan dan praktik. Pikiran dan mental berbagi sudah terbagi dan itu sangat menguras kecermatan para siswa. Belum lagi, mereka diwajibkan mengikuti pendidikan sisten ganda (PSG) yang lamanya berkisar antara 6 bulan sampai 1 tahun. Selama PSG itu mereka berada di lingkungan dunia kerja.
“Meski mata pelajaran UN siswa SMK hanya tiga mata pelajaran ditambah tes produktif dan SMA ada enam mata pelajaran, tapi harus ada terobosan baru bagi siswa SMK dalam ujian nasional. Karena desain SMK itu untuk masuk dunia kerja,” kata Kamilun.
Pada umumnya, siswa SMK jatuh nilainya pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris. Rata-rata nilainya di bawah 4,25. Sehingga sangat menyumbang angka ketidak lulusan yang cukup besar di Kota Malang.
Hal itu berbeda dengan pernyataan Kepala Dinas Pendidikan (Kadindik) Kota Malang, Shofwan yang menyatakan jatuhnya nilai para siswa SMK karena adanya tambahan mata perlajaran baru yang di ujian nasionalkan tahun ini, yakni tes teori produktif. Padahal, menurut Kamilun, tes produktif bukan kali pertama ditambahkan pada tahun ini.
Tahun sebelumnya, teori produktif yang disesuaikan dengan program studi masing-masing sekolah sudah di ujian nasionalkan pada tahun lalu. Jadi bukan barang baru untuk tahun ini. Kalau tahun lalu tetap ada tes produktif dan hasilnya tidak banyak siswa yang tidak lulus, mengapa tahun ini tes itu masih ada dan siswanya banyak yang tidak lulus?
“Dengan hasil ini harusnya ada evaluasi secara menyeluruh. Menurut saya perlu ada pengaturan ulang terhadap UN atau kurikulum SMK. Harus memperhatikan daya serap anak-anak, mengingat mereka belajar dalam satu minggu mencapai 52 jam,” ungkapnya.
Hasil itu akan dapat mempengaruhi rencana pemerintah yang mengharuskan 2012 dengan perbandingan 70 persen sekolah SMK dan 30 persen sekolah SMA. Sangat ironis, selama ini SMK menjadi bintang iklan yang terus ditayangkan, tapi perhatian dan pembinaan pemerintah terhadap SMK masih setengah hati.
Buktinya, pemerintah hingga saat ini tidak pernah mengadakan ujian paket untuk SMK. Kalau pada 10 Mei mendatang, siswa SMK yang tidak lulus lagi maka harus ikut ujian paket. Ujian paket yang ada hanya SMA IPA dan SMA IPS. Siswa SMK yang tidak lulus harus ikut SMA IPS atau IPA. Ijazah mereka juga akan berbunyi SMA IPA atau IPS. Padahal sekolah mereka SMK.
“Begitu juga dengan materi UN, jangan disamakan UN antara SMA dengan SMK. Karena desain masing-masing sudah berbeda,” terangnya.
Tidak hanya SMK, mantan kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Malang itu pun mempertanyakan sekolah-sekolah SBI dan RSBI yang masih meninggalkan siswa tidak lulus. Padahal, untuk sekolah yang menyandang predikat SBI, RSBI para siswa harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sekolah itu sudah dianggap sebagai unggulan yang menghasilkan output lebih baik. Harusnya, ada perbedaan UN antara sekolah SBI dengan sekolah biasa agar keunggulan sekolah itu dapat dites. Siswa SBI dan non SBI tetap mendapatkan soal yang sama dalam UN.
“Kalau tahun lalu banyak siswa yang jeblok di nilai geografi, tahun ini banyak siswa yang jatuh pada nilai mata pelajaran sosiologi. Kalau sekolah SBI atau RSBI yang masih menyisakan siswa tidak lulus patut dipertanyakan,” tandasnya.(aim/lim)


Sumber : Malang post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar